INTROPEKSI DIRI BAGI DAI
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Hadits
Dakwah
Dosen Pengampu: Agus Syamsul Huda. Lc
Disusun
Oleh:
Atik Dina Naikhah (1401036027)
Muhammad Ismail
Lutfi (1501026048)
Windan Primadani Agustin (1501026050)
Ghinary Oryza Sativa Putri (1501026051)
Riza Rizqi Adam (1501026057)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
I.
Pendahuluan
Dalam
berdakwah perlu kiranya seorang dai melakukan intropeksi diri, karena pada dasarnya seorang dai pun
merupakan manusia biasa yang tidak mungkin tidak untuk melakukan salah. Dengan menuruti hawa nafsu atau bisikan setan yang
sangat menakjubkan. Menuruti hawa nafsu itu pun bukan karena bodoh atau
bagaimana, melainkan fitrah manusia yang memang terlalu pandai untuk berfikir
dan selalu melakukan inovasi dalam berfikir, bertindak. Oleh sebab itu
perlu kiranya untuk melakukan intropeksi
diri.
إن
السنن ووجوه الحق لتأتي كثيرًا على خلاف الرأي
“Sesungguhnya
mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi” [HR.
Bukhari]. Dari hadits tersebut merupakan salah satu bentuk
legitimasi bahwasannya seorang dai pun bisa berbuat salah. Karena Nabi pun
sudah mengatakan sejak awal bahwa apa yang di ajarkan oleh beliau mesti
bertentangan dengan keinginan umumnya manusia. Karena ketika seseorang memang
ingin benar-benar melaksanakan syariat Islam, berarti seseorang tersebut sudah
siap akan konsekuensi yang ada. Meninggalkan kesenangan yang semu, meninggalkan
al-hal yang dil larang.
Mengutip majalah Hidayatullah seorang dai sangat
mungkin sekali perlu muhasabah akan niat dalam berdakwah. Karena kebanyakan
dalam melakukan dakwah seorang dai mengabaikan atau bahkan melenceng dari niat
semula. Inilah yang perlu di koreksi bagi setiap diri dai ketika melakukan
dakwah, agar apa yang menjadi tujuan dalam berdakwah tercapai dengan maksimal
dan menuai hasil.[1]
Perlu kiranya menata niat saat berdakwah, yakni tak lain adalah untuk
menegakkan syariat Allah dan mengharap ridha-Nya.
II.
Rumusan
Masalah
A. Bagaiman hadits-
hadits tentang intropeksi diri bagi dai
?
B. Mufrodat yang masih asing
?
C. Penjelasan dari masing- masing hadits ?
D. Serta implementasi dalam masyarakat ?
III.
Pembahasan
A.
Hadits- hadits tentang Intropeksi diri
Seorang
dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan bermusyawarah bersama rekan dengan niat untuk mencari
kebenaran. Imam Bukhari mengeluarkan suatu riwayat yang menceritakan usul Umar
kepada Abu Bakr radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan al-Quran. Tatkala
itu Abu Bakr menolak usul tersebut, namun Umar terus mendesak beliau dan
mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakr pun
menerima dan mengatakan,
1.
Hadits Pertama
فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ
حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي، وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ
“Umar
senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu
hingga Allah melapangkan hatiku dan akupun berpendapat sebagaimana pendapat
Umar” [HR. Bukhari].
Mufrodat sulit
|
|||
يُرَاجِعُنِي
|
Membujuk ku
|
صَدْرِي
|
Hatiku
|
شَرَحَ
|
Melapangkan
|
وَرَأَيْتُ- رَأَى
|
Pendapat Berpendapat
|
Abu
Bakar tidak bersikukuh dengan pendapatnya
ketika terdapat usulan yang lebih baik. Dan kedudukan beliau yang lebih tinggi
tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari pihak yang memiliki pendapat
berbeda.
2.
Hadits Kedua
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ،
أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي
“Sesungguhnya
aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh
karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” [HR. Bukhari].
Mufrodat
sulit
|
|||
أَنْسَى
|
Aku
Lupa
|
نَسِيتُ
|
Aku
lupa
|
تَنْسَوْنَ
|
Kamu
lupa
|
|
|
Diriwayatkan
dari Umar bin al-Khaththab,
beliau mengatakan,
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ
تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ
“Koreksilah
diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk
pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” [HR. Tirmidzi].
3.
Hadits
Ketiga
Diriwayatkan
dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,
لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ
نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ
“Hamba
tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia
mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi].
Mufrodat
sulit
|
|||
يُحَاسِبَ
|
Mengoreksi
|
شَرِيكَهُ
|
Rekannya
|
4.
Hadits Keempat
رسول اللهَ صَلى اللهُ عليهِ وسلم يقوْلُ
: يُجَاءُ بالرجلِ يَوْمَ القيا مةِ فَيُلْقَى فى النارفتند لقُ أ قتا بُهُ فى النار
, فيدور بها كما يدور الحمار بر حاه ,فيجتمع لهُ اهل النارِ عليه فيقولون ,يا فلا نُ ما شأنك؟ اليس كنت تأ مر بالمعروف وتنهانا
عن المنكر؟ قال كنت امركم با لمعروف ولا اتيه,
وانهاكم عن المنكر ولاأنتهي
artinya” pada hari kiamat, didatangkan seorang laki-laki kemudian dicampakkan ke dalam api neraka
sehingga tubuhnya hancur terbakar dan berputar-putar seperti seekor keledai yang berputar ditiangnya , penghuni
neraka pun datang mengelilinginya seraya mengatakan “wahai fulan , apa yang terjadi terhadap dirimu ? bukanlah engkau menyuruh kami berbuat kebikan dan melarang kami
berbuat kemungkaran ?, dia pun berkata” aku menyuruh kalian berbuat kebaikan
tetapi kau tidak melakukannya, dan aku melarang kalian berbuat kemungkaran
tetapi aku mengerjakannya
(HR. BUKHARI) .
Mufrodat
sulit
|
|||
أ قتا بُهُ
|
Terbakar
|
تند لقُ
|
Hancur
|
فيدور
|
berputra-putar
|
فَيُلْقَى
|
Dicampakkan
|
بر حاه
|
Tiang
|
|
|
Apabila
perkatannnya baik tetapi amalnya
buruk pada perkataan akan menolak amalnya. Orang yang tidak baik pada dirinya bagaimana mungkin bisa memperbaiki orang lain. Tidak
akan bisa paying menjadi lurus kalau ruasnya bengkok. Contoh telaan dan
istiqomah adalah yang paling utama dalam meluruskan orang lain. Sebagian ulama
mengatakan, “tidak disyaratkan untuk pelaku amar ma’ruf nahi munkar
memiliki kondisi yang sempurna dalam arti dia mengerjakan semua yang diperintahkannya dan
menjauhi semua yang dilarangnya. Dia tetap melaksanakan amar ma’ruf meskipun
tidak sempurna seperti yang diperintahkannya. Sebagaimana dia tetap melarang
kemungkaran meskipun tidak sempurna seperti yang dilarangnya. Yang wajib atas
pelaku adalah dua hal, yaitu menyuruh dan melarang dirinya, dan menyuruh melarang
orang lain. Kemudian adakah orang yang terpelihara dari kesalahan? Apabila
disyaratkan demikian maka akan sangat sulit untuk menerapkan amar ma’ruf
nahi munkar.”
Oleh karena itu, Said berkata, “Apabila tidak boleh pelaku amar
ma’ruf nahi munkar kecuali orang yang tidak ada cacat sedikitpun pada
dirinya, maka tidak akan ada pelaku amar ma’ruf nahi munkar .” Malik
merasa kagum dengan ucapan Said tersebut.
Bisa dikatakan bahwa tidak diragukan lagi perbuatan dosa, makssiat,
an kemungkaran adalah masalah yang memalukan dimana jiwa-jiwa menolaknya.
Terlebih-lebih jika dilakukan oleh para Dai dan orang yang menunjukkan kepada
jalan kebenaran. Semakin bertambah aib dan cacatnya apabila si pelaku melarang
suatu perbuatan dosa sedangkan dia sendiri mengerjakan dosa yang
sama. Si pelaku memerintahkan suatu kebaikan sedangkan dia sendiri jauh dari
kebaikan tersebut. Atau dosa yang dilakukan tergolong dosa besar, atau
perbuatannya diketahui oleh orang banyak, atau dengan sengaja berbuat dosa di
depan orang banyak.
Semua ini tentu saja akan mempengaruhi ucapannya, dan bisa jadi
sebagai faktor yang kuat tidak diterimanya nasihat atau tausiyahnya; manusia
berpaling dari dakwahnya. Terlebih-lebih jika si pelaku adalah orang orang yang yang mengubah kemungkaran
dengan perkataan bukan dengan tangan (kekuatan).
Adapun jika si pelaku melakukan dosa-dosa kecil, lalu berusaha
untuk bertobat, menyesal atas perbuatannya, atau mereka yang mengubah
kemungkaran dengan tangan, maka tidak mengapa memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran. Jangan
sampai pula menghentikan amar ma’ruf nahi munkar dengan dalih hadis Rasul saw.[2]
Untuk mewujudkan cita-cita dalam memperkenalkan dan mengembangkan
dakwah seorang da’I harus memiliki sifat-sifat asasi dan ia harus berpegang paa
uslub atau cara yang benar dan baik dalam melaksanakan dakwahnya . diantara
sifat utama dan asasi ialah harus menjadi contoh , teladan dan model yang baik
bagi islam yang didakwahkannya , ia harus melaksanakan semua rukun islam ,
mengikuti sunnah dan cara hidup Rosulullah Saw.menjauhi segala macam subhat dan
yang meragukan , menjauhi segala yang haram , senantiasa mengingat Allah alam
suatu persoalan kecil atau besar dalam rumah tangganya.
Semua anggota keluarganya harus turut berkomitmen dengan seluruh
ajaran islam an menjaga serta melaksanakan jaran islam dan tatakramanya. Dan
salah satu faktor terpenting dalam dakwah ialah keikhlasan dan kebulatan tekad
da’I semata-mata karena Allah dan dakwah Allah,agar dakwah yang dibawanya dapat berhasil menebus dan menarik hati
orang-orang yang diseur(mad’u), dan mereka dengan senang hati menyambut seruan
tersebut, mereka akan terpesona dengan seruan jika dilakukan dengan keikhlasan
dan tidak dicampur adukkan dengan interes pribadi atau tujuan-tujuan duniawi
lainnya dia berbicara untuk dakwah , bergerak untuk dakwah,berjalan karena
dakwah.
Seorang da’I harus menerangkan islam dengan jelas dan mudah
dipahami , serta tidak menimbulkan kekusutan , dia justru memperbaiki situasi
dan kondisi, bukan mengeruhkannya karena banyak orang yang mengaku sebagai da’I
tetapi pekerjaannya mengeruhkan dan memburukkan islam dan mereka mengira perbuatannya itu
perbuatan yang baik. Dan juga harus memahami tingakt dan kedudukan mad’u (orang
yang diseru)dan berbicara kepada mereka sesuai dengan tingkat kecerdasannya,
karena dengan itu akan memudahkan mereka untuk menyambut apa yang diserukannya
dan mereka tidak bosan mendengar ucapan da’I
Oleh karena itu hendaklah para da’I mengetahui kedudukannya ,
menilai dan menghargai tingkatannya. , jangan memandang hina diri mereka, serta
hendaklah selalu memohon pertolongan Allah , mereka harus bersabar betapun
banyakanya cobaan , gangguan maupun siksaan , tantangan dan permusuhan
terhadapnya . dalam masalah ini imam syahid Hasan Al-Bana telah member
pengarahan pada anggota ikhwanul muslimin
dengan kata” jadilah kamu dengan manusia seperti batang pohon mangga
orang melemparnya dengan batu,, tetapi ia membalasnya dengan buahnya .
Kamu harus beramal an berusaha dengan dua tujuan agar kamu berhasil dan melaksankan
kewajiban , jika yang pertama terlepas dari diri kamu , maka yang lain tidak
akan luput dari kamu semua. Itulah sebagian penjelasan yan berkisar paa masalah
tahap pengenalan (At-Ta’rif) yang dimaksudkan, untuk menjadi pegangan dijalan
dakwah dalam risalah imam syahid hasan
al banna dan beberapa tulisan muslim lainnya dapat dijadikan referensi sebagai
bahan dan bekal bagi da’I dalam melancarkan dakwahnya.[3]
5.
Hadits kelima
Diriwayatkan dari Umar bin
al-Khaththab, beliau mengatakan,
حَاسِبُوا
أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا،
وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ
“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah
(dengan amal shalih) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” [HR.
Tirmidzi].
6.
Hadits keenam
Diriwayatkan
dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,
لَا يَكُونُ
العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ
“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya
sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi].
7.
Hadits ketujuh
عن شادد بن أوس رضي الله عنه, عن الرسول الله صلى الله
عليه و سلمو يقول : الكيس من دان نفسهو وعمل لما بعد الموت والعاجز من اتبع هواها
وتمني على الله الأماني (رواه الترمذي)
Dari Syadad bin Aus r.a, dari Rasulullah saw, bahwa beliau berkata,
‘orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta
beramal untuk kehidupan sesudah kematian, sedangkan orang yang lemah adalah
yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt.
(HR. Imam Turmudzi)
Hadits diatas menggambarkan
urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan dunia ini. Karena
hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah rencana dan
misi besar seorang hamba, yakni mengharap Ridho Allah swt. Dan dalam
menjalankan misi tersebut , seseorang tentunya harus bisa meng-evaluasi diri.
Rasulullah juga sudah mengaskan dan mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan,
sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan-angan.
Muhasabah atau evaluasi diri inilah yang digambarkan oleh Rasulullah
saw sebagai kunci pertama kesuksesan. Rasulullah juga menjelaskan bahwa setelah
evaluasi harus ada aksi perbaikan, karena muhasabah tidak akan berarti apa-apa tanpa
adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Terdapat hal menarik yang tersirat dari hadits tersebut adalah
penjelasan Rasulullah saw mengenai kesuksesan. Orang yang pandai senantiasa
mengevaluasi diri terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jamgka panjangnya yakni kehidupan akhirat.
Sementara kebalikannya, yaitu kegagalan yang disebutkan sebagai orang yang
lemah memiliki dua ciri yang mendasar, yakni orang yang selalu menuruti hawa
nafsunya, dan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan.
B.
Implementasi Dalam Masyarakat
Melihat
realita saat ini yang kebanyakan berdakwah di jadikan sebagai profesi merupakan persoalan baru yang perlu di
koreksi, pasalnya ini berpengaruh sekali pada niat setiap dai. Padahal jika
niat seorang dai salah di awal, maka hakikat kegiatan dakwah tidak bisa tercapai dengan baik.
Seorang da’i harus memurnikan niatnya untuk mengajak kepada agama
Allah, semata-mata mencari ridhaNya, bukan mengajak kepada dirinya sendiri,
kelompoknya, atau pendapat dan fikirannya. Juga tidak dengan niat untuk
mengumpulkan harta, meraih jabatan, mencari suara, atau tujuan dunia lainnya.
8. Hadits kedelapan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلَ
إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dari semua jenis amalan
kecuali yang murni (ikhlas) untukNya dan untuk mencari wajahNya. [HR Nasa-i,
no. 3140. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 52; Ahkamul Janaiz, hlm. 63].[4]
Namun, jika seseorang berdakwah dengan benar dan ikhlas, kemudian
dia diberi harta, sedangkan dia tidak mengharapkannya dan tidak memintanya,
tujuannya hanyalah berdakwah, baik dia mendapatkan harta itu atau tidak, maka
–insya Allah- menerimanya tidak mengapa.
9. Hadits
kesembilan
Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي
الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ مَنْ هُوَ أَفْقَرُ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ خُذْهُ إِذَا جَاءَكَ مِنْ
هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لَا
فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
pemberian kepadaku, kemudian aku mengatakan: “Berikan kepada orang yang lebih
miskin daripadaku,” maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,”Ambillah itu! Jika datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan
engkau tidak memperhatikan (yakni mengharapkan, Pen) dan tidak meminta, maka
ambillah itu! Dan yang tidak, maka janganlah engkau mengikuti hawa-nafsumu
terhadapnya!” [HR Bukhari, no. 14734].
Dengan demikian maka sepantasnya seorang da’i juga memiliki
pekerjaan dan usaha untuk mencukupi kebutuhannya, sehingga dia tidak menggantungkan kepada umat.
Karena sesungguhnya makanan terbaik yang dimakan oleh seseorang ialah hasil
keringatnya sendiri.
10. Hadits
kesepuluh
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ
“Tidaklah seorangpun memakan makanan sama sekali yang lebih baik
daripada dia makan dari pekerjaan tangannya. Dan sesungguhnya Nabi Allah, Dawud
Alaihissallam, dia makan dari pekerjaan tangannya” [HR Bukhari, no. 2072].
Selain ikhlas, di dalam berdakwah wajib mengikuti Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga seseorang berdakwah berdasarkan ilmu, hikmah dan kesabaran. Tidak
berdakwah dengan bid’ah dan kemaksiatan. Karena memang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam merupakan panutan terbaik bagi umat Islam dalam segala
perkara, termasuk di dalam berdakwah menuju agama Allah. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ
يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagi kamu (umat Islam, yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (pahala) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. [Al Ahzab:21].[5]
hendaknya da’i memiliki akhlak yang baik dalam perkataan,
perbuatan, dan penampilan yang baik. Maksudnya penampilan yang baik adalah
penampilan yang layak untuk seorang da’i. Juga perbuatannya dan perkataannya layak
untuk seorang da’i. Yaitu hendaknya ia berhati-hati dan tenang dalam berkata
dan berbuat, memiliki pandangan yang mendalam. Sehingga ia tidak mengesankan
bahwa agama itu sulit, selama masih bisa untuk dihindari kesan tersebut. Dan hendaknya ia
tidak mengambil sikap yang keras selama masih bisa berlemah lembut.
Pada intinya dalam berdakwah seorang dai perlu
sering-sering bermuhasabah atas apa yang di lakukannya setiap kali melakukan
dakwah.
IV.
Kesimpulan
Bisa
di simpulkan bahwasannya Rasulullah saw berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik
sepanjang zaman dengan dakwah beliau. Dakwah secara umum dan pembinaan Da’i
sebagai asset SDM dalam dakwah secara khusus adalah jalan
satu-satunya menuju terbentuknya khairu ummah yang kita idam-idamkan.
Rasulullah saw melakukan tarbiyah mencetak kader-kader dakwah di kalangan para
sahabat beliau di rumah Arqam bin Abil Arqam ra, beliau juga mengutus Mush’ab
bin Umair ra ke Madinah untuk membentuk basis dan cikal bakal masyarakat terbaik
di Madinah (Anshar).
Jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw ini adalah
juga jalan yang sepatutnya ditempuh untuk mengembalikan kembali kejayaan umat
Islam. Imam Malik bin Anas ra berkata:
لاَ يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا
Akhir umat ini tidak menjadi baik kecuali menggunakan
cara yang digunakan untuk memperbaiki generasi awalnya. (Nashiruddin Al-AlBani,
Fiqhul Waqi’ hlm 22).[6]
DAFTAR PUSTAKA
Imam Muslim: Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats, 1972.
HR Nasa-i, no.
3140. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 52; Ahkamul Janaiz, hlm. 63.
Syaikh Mustofa Mansyhur. Min Fiqhi Ad-Dakwah.
Penerj. Abu Ridho Dkk. Jakarta : Al-‘Itisom Cahaya Umat 2000. Hal. 19-21
Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, Ad-Dakwah Ilallah.Penerj Sofwan Abbas
Dkk, Jakarta:Al-‘Itisom Cahaya Umat. 2011. Hal. 366-367
[1] Majalah Hidayatullah
[2] Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, Ad-Dakwah Ilallah.Penerj Sofwan
Abbas Dkk, Jakarta:Al-‘Itisom Cahaya Umat. 2011. Hal. 366-367
[3] Syaikh Mustofa Mansyhur. Min
Fiqhi Ad-Dakwah. Penerj. Abu Ridho Dkk. Jakarta : Al-‘Itisom Cahaya Umat
2000. Hal. 19-21
[4] HR Nasa-i, no. 3140. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 52;
Ahkamul Janaiz, hlm. 63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar