Senin, 11 November 2019

Contoh Makalah Intropeksi Diri Bagi Dai


INTROPEKSI DIRI BAGI DAI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hadits Dakwah
Dosen Pengampu: Agus Syamsul Huda. Lc
Description: Description: Description: Description: E:\logo UIN.jpg
Disusun Oleh:
Atik Dina Naikhah (1401036027)
Muhammad Ismail Lutfi (1501026048)
Windan Primadani Agustin (1501026050)
Ghinary Oryza Sativa Putri (1501026051)
Riza Rizqi Adam (1501026057)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017

I.         Pendahuluan
Dalam berdakwah perlu kiranya seorang dai melakukan intropeksi  diri, karena pada dasarnya seorang dai pun merupakan manusia biasa yang tidak mungkin tidak untuk melakukan salah. Dengan menuruti hawa nafsu atau bisikan setan yang sangat menakjubkan. Menuruti hawa nafsu itu pun bukan karena bodoh atau bagaimana, melainkan fitrah manusia yang memang terlalu pandai untuk berfikir dan selalu melakukan inovasi dalam berfikir, bertindak. Oleh sebab itu perlu  kiranya untuk melakukan intropeksi diri.
إن السنن ووجوه الحق لتأتي كثيرًا على خلاف الرأي
Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi” [HR. Bukhari]. Dari hadits tersebut merupakan salah satu bentuk legitimasi bahwasannya seorang dai pun bisa berbuat salah. Karena Nabi pun sudah mengatakan sejak awal bahwa apa yang di ajarkan oleh beliau mesti bertentangan dengan keinginan umumnya manusia. Karena ketika seseorang memang ingin benar-benar melaksanakan syariat Islam, berarti seseorang tersebut sudah siap akan konsekuensi yang ada. Meninggalkan kesenangan yang semu, meninggalkan al-hal yang dil larang.
Mengutip majalah Hidayatullah seorang dai sangat mungkin sekali perlu muhasabah akan niat dalam berdakwah. Karena kebanyakan dalam melakukan dakwah seorang dai mengabaikan atau bahkan melenceng dari niat semula. Inilah yang perlu di koreksi bagi setiap diri dai ketika melakukan dakwah, agar apa yang menjadi tujuan dalam berdakwah tercapai dengan maksimal dan menuai hasil.[1] Perlu kiranya menata niat saat berdakwah, yakni tak lain adalah untuk menegakkan syariat Allah dan mengharap ridha-Nya.

II.      Rumusan Masalah
A. Bagaiman  hadits- hadits  tentang  intropeksi diri bagi dai ?
B. Mufrodat yang masih asing ?
C. Penjelasan dari masing- masing hadits ?
D. Serta implementasi dalam masyarakat ?

III.   Pembahasan
A.       Hadits- hadits tentang Intropeksi diri
Seorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan bermusyawarah bersama rekan dengan niat untuk mencari kebenaran. Imam Bukhari mengeluarkan suatu riwayat yang menceritakan usul Umar kepada Abu Bakr radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan al-Quran. Tatkala itu Abu Bakr menolak usul tersebut, namun Umar terus mendesak beliau dan mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakr pun menerima dan mengatakan,
1.      Hadits Pertama

فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي، وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ
Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu hingga Allah melapangkan hatiku dan akupun berpendapat sebagaimana pendapat Umar” [HR. Bukhari].
Mufrodat sulit
يُرَاجِعُنِي
Membujuk ku
صَدْرِي
Hatiku
شَرَحَ
Melapangkan
وَرَأَيْتُ- رَأَى
Pendapat Berpendapat
Abu Bakar tidak bersikukuh dengan pendapatnya ketika terdapat usulan yang lebih baik. Dan kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari pihak yang memiliki pendapat berbeda.
2.      Hadits Kedua
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي
Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” [HR. Bukhari].
Mufrodat sulit
أَنْسَى
Aku Lupa
نَسِيتُ
Aku lupa
تَنْسَوْنَ
Kamu lupa



Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, beliau mengatakan,
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ
Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” [HR. Tirmidzi].
3.      Hadits Ketiga
Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,
لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ
Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi].
Mufrodat sulit
يُحَاسِبَ
Mengoreksi
شَرِيكَهُ
Rekannya
4.      Hadits Keempat
رسول اللهَ صَلى اللهُ عليهِ وسلم يقوْلُ : يُجَاءُ بالرجلِ يَوْمَ القيا مةِ فَيُلْقَى فى النارفتند لقُ أ قتا بُهُ فى النار , فيدور بها كما يدور الحمار بر حاه ,فيجتمع لهُ اهل النارِ عليه فيقولون  ,يا فلا نُ ما شأنك؟ اليس كنت تأ مر بالمعروف وتنهانا عن المنكر؟ قال  كنت امركم با لمعروف ولا اتيه, وانهاكم عن المنكر ولاأنتهي
artinya” pada hari kiamat, didatangkan seorang laki-laki  kemudian dicampakkan ke dalam api neraka sehingga tubuhnya hancur terbakar dan berputar-putar seperti seekor  keledai yang berputar ditiangnya , penghuni neraka pun datang mengelilinginya seraya mengatakan “wahai fulan , apa yang terjadi terhadap dirimu ? bukanlah engkau menyuruh kami berbuat kebikan dan melarang kami berbuat kemungkaran ?, dia pun berkata” aku menyuruh kalian berbuat kebaikan tetapi kau tidak melakukannya, dan aku melarang kalian berbuat kemungkaran tetapi aku mengerjakannya (HR. BUKHARI) .
Mufrodat sulit
أ قتا بُهُ
Terbakar
تند لقُ
Hancur
فيدور
berputra-putar
فَيُلْقَى 
Dicampakkan
بر حاه
Tiang


Apabila perkatannnya baik tetapi amalnya buruk pada perkataan akan menolak amalnya. Orang yang tidak baik pada dirinya bagaimana mungkin bisa memperbaiki orang lain. Tidak akan bisa paying menjadi lurus kalau ruasnya bengkok. Contoh telaan dan istiqomah adalah yang paling utama dalam meluruskan orang lain. Sebagian ulama mengatakan, “tidak disyaratkan untuk pelaku amar ma’ruf nahi munkar memiliki kondisi yang sempurna dalam arti dia mengerjakan semua yang diperintahkannya dan menjauhi semua yang dilarangnya. Dia tetap melaksanakan amar ma’ruf meskipun tidak sempurna seperti yang diperintahkannya. Sebagaimana dia tetap melarang kemungkaran meskipun tidak sempurna seperti yang dilarangnya. Yang wajib atas pelaku adalah dua hal, yaitu menyuruh dan melarang dirinya, dan menyuruh melarang orang lain. Kemudian adakah orang yang terpelihara dari kesalahan? Apabila disyaratkan demikian maka akan sangat sulit untuk menerapkan amar ma’ruf nahi munkar.”
Oleh karena itu, Said berkata, “Apabila tidak boleh pelaku amar ma’ruf nahi munkar kecuali orang yang tidak ada cacat sedikitpun pada dirinya, maka tidak akan ada pelaku amar ma’ruf nahi munkar .” Malik merasa kagum dengan ucapan Said tersebut.
Bisa dikatakan bahwa tidak diragukan lagi perbuatan dosa, makssiat, an kemungkaran adalah masalah yang memalukan dimana jiwa-jiwa menolaknya. Terlebih-lebih jika dilakukan oleh para Dai dan orang yang menunjukkan kepada jalan kebenaran. Semakin bertambah aib dan cacatnya apabila si pelaku melarang suatu perbuatan dosa sedangkan dia sendiri mengerjakan dosa yang sama. Si pelaku memerintahkan suatu kebaikan sedangkan dia sendiri jauh dari kebaikan tersebut. Atau dosa yang dilakukan tergolong dosa besar, atau perbuatannya diketahui oleh orang banyak, atau dengan sengaja berbuat dosa di depan orang banyak.
Semua ini tentu saja akan mempengaruhi ucapannya, dan bisa jadi sebagai faktor yang kuat tidak diterimanya nasihat atau tausiyahnya; manusia berpaling dari dakwahnya. Terlebih-lebih jika si pelaku adalah orang orang yang yang mengubah kemungkaran dengan perkataan bukan dengan tangan (kekuatan).
Adapun jika si pelaku melakukan dosa-dosa kecil, lalu berusaha untuk bertobat, menyesal atas perbuatannya, atau mereka yang mengubah kemungkaran dengan tangan, maka tidak mengapa memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran. Jangan sampai pula menghentikan amar ma’ruf nahi munkar  dengan dalih hadis Rasul saw.[2]
Untuk mewujudkan cita-cita dalam memperkenalkan dan mengembangkan dakwah seorang da’I harus memiliki sifat-sifat asasi dan ia harus berpegang paa uslub atau cara yang benar dan baik dalam melaksanakan dakwahnya . diantara sifat utama dan asasi ialah harus menjadi contoh , teladan dan model yang baik bagi islam yang didakwahkannya , ia harus melaksanakan semua rukun islam , mengikuti sunnah dan cara hidup Rosulullah Saw.menjauhi segala macam subhat dan yang meragukan , menjauhi segala yang haram , senantiasa mengingat Allah alam suatu persoalan kecil atau besar dalam rumah tangganya.
Semua anggota keluarganya harus turut berkomitmen dengan seluruh ajaran islam an menjaga serta melaksanakan jaran islam dan tatakramanya. Dan salah satu faktor terpenting dalam dakwah ialah keikhlasan dan kebulatan tekad da’I semata-mata karena Allah dan dakwah Allah,agar dakwah yang dibawanya dapat berhasil menebus dan menarik hati orang-orang yang diseur(mad’u), dan mereka dengan senang hati menyambut seruan tersebut, mereka akan terpesona dengan seruan jika dilakukan dengan keikhlasan dan tidak dicampur adukkan dengan interes pribadi atau tujuan-tujuan duniawi lainnya dia berbicara untuk dakwah , bergerak untuk dakwah,berjalan karena dakwah.
Seorang da’I harus menerangkan islam dengan jelas dan mudah dipahami , serta tidak menimbulkan kekusutan , dia justru memperbaiki situasi dan kondisi, bukan mengeruhkannya karena banyak orang yang mengaku sebagai da’I tetapi pekerjaannya mengeruhkan dan memburukkan islam  dan mereka mengira perbuatannya itu perbuatan yang baik. Dan juga harus memahami tingakt dan kedudukan mad’u (orang yang diseru)dan berbicara kepada mereka sesuai dengan tingkat kecerdasannya, karena dengan itu akan memudahkan mereka untuk menyambut apa yang diserukannya dan mereka tidak bosan mendengar ucapan da’I
Oleh karena itu hendaklah para da’I mengetahui kedudukannya , menilai dan menghargai tingkatannya. , jangan memandang hina diri mereka, serta hendaklah selalu memohon pertolongan Allah , mereka harus bersabar betapun banyakanya cobaan , gangguan maupun siksaan , tantangan dan permusuhan terhadapnya . dalam masalah ini imam syahid Hasan Al-Bana telah member pengarahan pada anggota ikhwanul muslimin  dengan kata” jadilah kamu dengan manusia seperti batang pohon mangga orang melemparnya dengan batu,, tetapi ia membalasnya dengan buahnya .
Kamu harus beramal an berusaha dengan dua tujuan agar kamu berhasil dan melaksankan kewajiban , jika yang pertama terlepas dari diri kamu , maka yang lain tidak akan luput dari kamu semua. Itulah sebagian penjelasan yan berkisar paa masalah tahap pengenalan (At-Ta’rif) yang dimaksudkan, untuk menjadi pegangan dijalan dakwah  dalam risalah imam syahid hasan al banna dan beberapa tulisan muslim lainnya dapat dijadikan referensi sebagai bahan dan bekal bagi da’I dalam melancarkan dakwahnya.[3]

5.      Hadits kelima
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, beliau mengatakan,
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ
“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” [HR. Tirmidzi].
6.      Hadits keenam
Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,
لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ
“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi].
7.      Hadits ketujuh
عن شادد بن أوس رضي الله عنه, عن الرسول الله صلى الله عليه و سلمو يقول : الكيس من دان نفسهو وعمل لما بعد الموت والعاجز من اتبع هواها وتمني على الله الأماني (رواه الترمذي)
Dari Syadad bin Aus r.a, dari Rasulullah saw, bahwa beliau berkata, ‘orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian, sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi)
Hadits diatas menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah rencana dan misi besar seorang hamba, yakni mengharap Ridho Allah swt. Dan dalam menjalankan misi tersebut , seseorang tentunya harus bisa meng-evaluasi diri. Rasulullah juga sudah mengaskan dan mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan-angan.
Muhasabah atau evaluasi diri inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw sebagai kunci pertama kesuksesan. Rasulullah juga menjelaskan bahwa setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan, karena muhasabah tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Terdapat hal menarik yang tersirat dari hadits tersebut adalah penjelasan Rasulullah saw mengenai kesuksesan. Orang yang pandai senantiasa mengevaluasi diri terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jamgka panjangnya yakni kehidupan akhirat. Sementara kebalikannya, yaitu kegagalan yang disebutkan sebagai orang yang lemah memiliki dua ciri yang mendasar, yakni orang yang selalu menuruti hawa nafsunya, dan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan.


B.        Implementasi Dalam Masyarakat
Melihat realita saat ini yang kebanyakan berdakwah di jadikan sebagai profesi merupakan persoalan baru yang perlu di koreksi, pasalnya ini berpengaruh sekali pada niat setiap dai. Padahal jika niat seorang dai salah di awal, maka hakikat kegiatan dakwah tidak  bisa tercapai dengan baik.
Seorang da’i harus memurnikan niatnya untuk mengajak kepada agama Allah, semata-mata mencari ridhaNya, bukan mengajak kepada dirinya sendiri, kelompoknya, atau pendapat dan fikirannya. Juga tidak dengan niat untuk mengumpulkan harta, meraih jabatan, mencari suara, atau tujuan dunia lainnya.

8.      Hadits kedelapan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلَ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dari semua jenis amalan kecuali yang murni (ikhlas) untukNya dan untuk mencari wajahNya. [HR Nasa-i, no. 3140. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 52; Ahkamul Janaiz, hlm. 63].[4]
Namun, jika seseorang berdakwah dengan benar dan ikhlas, kemudian dia diberi harta, sedangkan dia tidak mengharapkannya dan tidak memintanya, tujuannya hanyalah berdakwah, baik dia mendapatkan harta itu atau tidak, maka –insya Allah- menerimanya tidak mengapa.

9.      Hadits kesembilan
Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ مَنْ هُوَ أَفْقَرُ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ خُذْهُ إِذَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pemberian kepadaku, kemudian aku mengatakan: “Berikan kepada orang yang lebih miskin daripadaku,” maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Ambillah itu! Jika datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau tidak memperhatikan (yakni mengharapkan, Pen) dan tidak meminta, maka ambillah itu! Dan yang tidak, maka janganlah engkau mengikuti hawa-nafsumu terhadapnya!” [HR Bukhari, no. 14734].
Dengan demikian maka sepantasnya seorang da’i juga memiliki pekerjaan dan usaha untuk mencukupi kebutuhannya, sehingga dia tidak menggantungkan kepada umat. Karena sesungguhnya makanan terbaik yang dimakan oleh seseorang ialah hasil keringatnya sendiri.

10.  Hadits kesepuluh
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seorangpun memakan makanan sama sekali yang lebih baik daripada dia makan dari pekerjaan tangannya. Dan sesungguhnya Nabi Allah, Dawud Alaihissallam, dia makan dari pekerjaan tangannya” [HR Bukhari, no. 2072].
Selain ikhlas, di dalam berdakwah wajib mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga seseorang berdakwah berdasarkan ilmu, hikmah dan kesabaran. Tidak berdakwah dengan bid’ah dan kemaksiatan. Karena memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan panutan terbaik bagi umat Islam dalam segala perkara, termasuk di dalam berdakwah menuju agama Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kamu (umat Islam, yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (pahala) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. [Al Ahzab:21].[5]

hendaknya da’i memiliki akhlak yang baik dalam perkataan, perbuatan, dan penampilan yang baik. Maksudnya penampilan yang baik adalah penampilan yang layak untuk seorang da’i. Juga perbuatannya dan perkataannya layak untuk seorang da’i. Yaitu hendaknya ia berhati-hati dan tenang dalam berkata dan berbuat, memiliki pandangan yang mendalam. Sehingga ia tidak mengesankan bahwa agama itu sulit, selama masih bisa untuk dihindari kesan tersebut. Dan hendaknya ia tidak mengambil sikap yang keras selama masih bisa berlemah lembut.
Pada intinya dalam berdakwah seorang dai perlu sering-sering bermuhasabah atas apa yang di lakukannya setiap kali melakukan dakwah.

IV.   Kesimpulan
Bisa di simpulkan bahwasannya Rasulullah saw berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik sepanjang zaman dengan dakwah beliau. Dakwah secara umum dan pembinaan Da’i sebagai asset SDM dalam dakwah secara khusus adalah jalan satu-satunya menuju terbentuknya khairu ummah yang kita idam-idamkan. Rasulullah saw melakukan tarbiyah mencetak kader-kader dakwah di kalangan para sahabat beliau di rumah Arqam bin Abil Arqam ra, beliau juga mengutus Mush’ab bin Umair ra ke Madinah untuk membentuk basis dan cikal bakal masyarakat terbaik di Madinah (Anshar).
Jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw ini adalah juga jalan yang sepatutnya ditempuh untuk mengembalikan kembali kejayaan umat Islam. Imam Malik bin Anas ra berkata:
لاَ يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا
Akhir umat ini tidak menjadi baik kecuali menggunakan cara yang digunakan untuk memperbaiki generasi awalnya. (Nashiruddin Al-AlBani, Fiqhul Waqi’ hlm 22).[6]

DAFTAR PUSTAKA

Imam Muslim: Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats, 1972.
HR Nasa-i, no. 3140. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 52; Ahkamul Janaiz, hlm. 63.
Syaikh  Mustofa Mansyhur. Min Fiqhi Ad-Dakwah. Penerj. Abu Ridho Dkk. Jakarta : Al-‘Itisom Cahaya Umat 2000. Hal. 19-21
Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, Ad-Dakwah Ilallah.Penerj Sofwan Abbas Dkk, Jakarta:Al-‘Itisom Cahaya Umat. 2011. Hal. 366-367



[1] Majalah Hidayatullah
[2] Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, Ad-Dakwah Ilallah.Penerj Sofwan Abbas Dkk, Jakarta:Al-‘Itisom Cahaya Umat. 2011. Hal. 366-367
[3] Syaikh  Mustofa Mansyhur. Min Fiqhi Ad-Dakwah. Penerj. Abu Ridho Dkk. Jakarta : Al-‘Itisom Cahaya Umat 2000. Hal. 19-21
[4] HR Nasa-i, no. 3140. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 52; Ahkamul Janaiz, hlm. 63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar